Webinar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
“The Dynamic of Indonesia–China Relation In Political Economy And The Changing Global Order”.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno kembali menggelar Webinar secara hybrid melalui apilaksi ZOOM dengan mengangkat tema The Dynamic of Indonesia – China Relation in Political Economy And The Changing Globhal Order yang dilaksanakan pada Jumat Siang (16/4/2021). Webinar kali ini menghadirkan narasumber dan pembicara kunci yaitu Staf Khusus (Stafsus) Presiden Republik Indonesia Bidang Komunikasi, Dr. Ir. Muhammad Fadjroel Rachman, M.H., Yang Mulia Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok (RTT) merangkap Mongolia Drs. Djauhari Oratmangun, Yang Mulia Wakil Dubes RI untuk Republik Rakyat Tiongkok, Dino R. Kusnadi, Rektor UBK Dr. Didik Suhariyanto, S.H., M.H., Wakil Rektor III UBK, Rinaldi Agusta Fahlevi, S.H., M.H., CLA., Dekan Fisip UBK Franky P. Roring, S. IP., M. Si.,dan acara ini diikuti juga oleh Civitas Academica dari UBK.
Harsen Roy Tampomuri, S. IP., M.A., Staf Ahli MPR RI dan juga selaku akademisi Fisip UBK menjadi moderator untuk webinar. Peserta yang mengikuti acara ini dari Civitas Akademika UBK dan perguruan tinggi lainnya serta masyarakat. Ketua Panitia Pelaksana, Ardhiansyah, Mahasiswa Semeseter II Fisip UBK dalam sambutannya menyampaikan: “Tujuan webinar ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang ekonomi dalam hubungan antara Indonesia dan negara China”.
Sedangkan dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III UBK, Rinaldi Agusta Fahlevi, S,H., M.H., CLA., dalam pidato sambutannya menyampaikan: “Saya menyampaikan apresiasi yang luar biasa atas perkenanan dari para narasumber untuk mengikuti acara webinar, yang terkait dengan relasi antara Indonesia dengan RRT baik dibidang ekonomi maupun situasi global yang saat ini terjadi. Hal ini menarik dan menjadi pengetahuan yang luar basa untuk mahasiswa khusunya dari kalangan UBK dan bagi masyarakat luas”.
Selanjutnya Rektor UBK, Dr. Didik Suhariyanto, S.H., M.H., dalam pidato sambutannya sekaligus membuka acara webinar menyampaikan: “Kegiatan ini bisa menjadi titik tolak kegiatan akademik di Indonesia terkait dengan hubungan diplomatic dan kegiatan ini merupakan suatu wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam pengembangan keintelektualan di UBK. Politik luar negeri Bebas Aktif merupakan sebuah landasan yang menjadi prinsip dalam melakukan interaksi dalam hubungan Internasional oleh Republik Indonesia. Hubungan bilateral harus terjalin dengan baik. Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatic secara resmi sejak 6 Juni 1950. Dewasa ini pengaruh China sendiri menguat dalam konstelasi global dan regional yang jika dimanfaatkan dengan baik akan membawa pengaruh signifikan bagi Bangsa Indonesia. China sebagai kekuatan ekonomi dunia memberikan pengaruh dalam konteks politik dan ekonomi di Indonesia. Hubungan Indonesia dengan China terus berkembang dengan cepat hingga sekarang dibidang perekonomian , di dunia perdangan ekspor-import. Dalam hubungan internasional perlu kebijakan luar negeri yang harus mempraktekan prinsip martabat nasional. Setiap negara dalam menjalin hubungan internasional harus memberikan pengaruh yang bisa diberikan terhadap kepentingan nasional”
Sebagai Keynote Speaker, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Juru Bicara Presiden Republik Indonesia, Dr.Ir. Muhammad Fadjroel Rachman, M.H., dalam paparan makalahnhya membawakan tema “Indonesia-Tiongkok: Pilar Kekuatan Global”. Sebelum menjelaskan makalahnya, Staf Khusus Bidang Komunkasi Presiden ini bercerita pengalamannya semasa awal kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB): “Saya kebetulan satu kampus dengan Bung karno di ITB, kali pertama saya datangi adalah ruang Teknik Sipil. Ruangan dimana saya ingin tahu dimana sebelumnya dulu Bung Karno kuliah. Saya bilang ya Allah disini rupanya Proklamator Bung Karno dulu di masa penjajahan, kemudian membangun kemampuan intelektualnya, membangun kekuatan-kekuatan akademisnya yang kemudian sangat bermanfaat dalam kehiidupannya sebagai pejuang kemerdekaan dan Proklamator Kemerdekaan”.
Lebih lanjut diawal paparan makalahnya disampaikan pernyataan dari Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Jokowi yaitu: :Saya harapakan hubungan dan kerjasama antara dua negara akan lebih kuat dan saling menguntungkan’. Demkian pernyataanya dalam Peringatan 70 Tahun hubungan diplomasi Indonesia-Tiongkok. Juru Bicara Presiden ini kemudian menyampaikan bahwa: “World Bank dan IMF memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 2024, kekuatan ekonomi Indonesia mengeser negara-negara Eropa termasuk Britania Raya (Inggris)”. Bung Fadjroel selanjutnya menyampakan: “Strategi Kerja Nasional yang dikerjakan adalah apa yang kita sebut sebagai Panca Kerja yaitu 1. Penguatan Infrastruktur; 2. Pembangunan SDM; 3. Penyederhanaan Birokrasi; 4. Penyederhanaan Regulasi, dan 5. Transformasi Ekonomi.
Panca Kerja adalah sebagai salah satu modal pembangunan dalam rangka kerja sama internasional. Adapun di era Presiden Joko Widodo ini, Prinsip Diplomasi Indonesia tetap Bebas Aktif. Pada masa Presiden Joko Widodo Prinsip Bebas AKtif dengan melakukan a) Perlindungan WNI yang diluar negeri, b) Perlindungan Sumber Daya Maritim, c) Meningkatkan produktifitas dan daya saing internasional, dan d) Menjaga kemananan regional dan ketertiban dunia. Landasan kerja sama internasional yaitu dengan kita saling menghormati, kemitraan dan solidaritas. Sebagai mana termaktub dalam Mukadimah UUD 1945. Adapun kerja sama internasional antara Republlik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok sudah sejak 13 April 1950. Presiden Joko Widodo sudah lima (5) kali melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Indonesia melihat hubungan setara dengan Tiongkok dalam kemajuan dan kesejahteraan kedua rakyat. Kemudian dari Republik Rakyat Tiongkok sendiri sudah dua (2) kali kunjungan kenegaraan Presiden Xi Jinping ke Indonesia. Tiongkok melihat Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang harus dirangkul. Dengan demikian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok bisa menjadi mitra pembangunan ekonomi, mitra perdagangan, mitra pendidikan dan kebudayaan, mitra perdamaian kawasan. Kerjasama kedua negara ini adalah penggabungan kekuatan ekonomi, kebudayaan dan politik besar sehingga akan menjadi kekuatan global dimasa mendatang. Oleh karenanya seperti pesan Presiden Joko Widodo, kerja sama kedua negara akan terus ditingkatkan.” Harsen Roy Tampomuri, S. IP., M.A., selaku moderator dalam pengantar diskusi webinar dengan tema The Dynamic of Indonesia–China Relation in Political Economy And The Changing Globhal Order menyampaikan: “Pada hari ini kita akan secara khusus membicarakan bagaimana dinamika hubungan Indonesia-China dan bagaimana perubahan tatanan global”.
Duta Besar Republik Indonesia Untuk Repubik Rakyat Tiongkok merangkap Mongolia, Yang Mulia Drs. Djauhari Oratmangun dari Hangzhou menyampaikan beberapa hal penting terkait dinamika hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok Yaitu: “Pertama, sejak 2013 Indonesia dan Tiongkok adalah comprehensive strategic partnership sementara sejak 2005 strategic partnership. Saat ini kita masih dalam suasana merayakan 71 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok yang dibuka sejak 13 April 1950. Dinamika hubungan antara dua negara bertumpu pada tiga pilar yakni Politik, Keamanan, Ekonomi dan Pembangunan, Sosial dan Budaya”. “Saya mungkin akan lebih menekankan pada pilar ekonomi serta sosial budaya. Pilar politik dan keamanan saya kira sudah banyak yang dikerjakan apakah itu dalam konteks bilateral maupun dalam kerja sama regional khususnya East Asia Summit (EAS)-ASEAN, ARF serta keterlibatan bersama-sama dalam forum-forum multilateral. Selain itu, tentunya kita berharap juga bahwa dimasa yang akan datang gagasan Indonesia yang telah diwujudkan menjadi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dapat didukung oleh Tiongkok dan beberapa negara partner ASEAN.” Demikian pernyataan Dubes Djauhari.
Lebih lanjut Dubes Djauhari mengatakan: “Pada bagian kedua yakni sektor ekonomi, ditahun 2020 pertumbuhan volume ekspor antara Indonesia dan Tiongkok telah mencapai 78,9 miliar USD. Tiongkok merupakan partner dagang Indonesia yang terbesar saat ini. Dibidang investasi pada tahun 2020 realisasi investasi Tiongkok di Indonesia sudah mencapai 4,8 miliar USD sementara Hongkong berada diposisi keempat dengan jumlah 3,5 miliar USD. Apabila Tiongkok ditambahkan dengan Hongkong maka itu jumlah yang sangat signifikan.
Dalam bidang tourism economy, sayangnya kita dihadapkan pada situasi pandemi sehingga tahun 2020 sangat minim jumlah turis dari Tiongkok yang berkunjung. Padahal tahun 2019 turis Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 2,1 juta pengunjung. Selanjutnya kontribusi digital economy di Tiongkok terhadap GDP sudah 32% sementara di Indonesia sekitar 3%. Indonesia diprediksi akan menjadi leader disektor digital economy ditahun 2025 dengan nilai 130-150 miliar. “Pilar yang ketiga adalah sosial budaya, tentunya pertukaran budaya antar kedua negara sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dan itu sekarang direfleksikan juga hingga sebelum masa pandemi. Sementara itu jumlah mahasiswa asal Indonesia yang studi di Tiongkok telah mendekati 16.000 orang. Kita berharap dimasa yang akan datang semakin banyak mahasiswa Indonesia yang mengejar ilmu ke Tiongkok karena kelak mereka yang akan menjadi jembatan kata-kata bagi hubungan Indonesia-Tiongkok. Sementara itu semakin banyak juga mahasiswa Tiongkok yang mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia,” penjelasannya.
Dubes Djauhari menerangkan: “Bahwa salah satu yang dikerjasamakan pada masa pandemi adalah infrastruktur kesehatan termasuk vaksin untuk menjamin pasokan vaksin ke Indonesia. Hal ini terus dikoordinasikan melalui berbagai pertemuan pada tingkat menteri. Sementara itu Tiongkok ingin agar Indonesia menjadi manufacture hub untuk vaksin di Indonesia”.
Moderator sebelum narasumber berikutnya menyampaikan paparannya menambahkan panduan dalam topic diskusi yaitu: “ Diskusi kita pada saat ini ada beberapa hal yang dielaborasi yang pertama. Kita ingin mengetahui komitmen pemerintah dalam mengatur pola serta strategi hubungan Indonesia-China demi membawa kemashlahatan bagi Indonesia bahkan demi kepentigan regional dan global ataupun kepentingan multilateral; Yang kedua, kita ingin mengelaborasi dinamika hubungan kerja sama Indonesia dan China/Tiongkok dalam kaca mata politik ekonomi serta perjalanan historisnya; Yang ketiga mengelaborasi dinamika hubungan kerjasama Indonesia-Tiongkok dalam tatanan global; yang keempat manganalis potensi dan relevansi kerja sama Indonesia-Tingkok pasca Pandemi Covid-19, dan Keenam, kita ingin mengetahui kisah sukses Tiongkok dalam menghadapi bencana global Pandemi Covid-19 serta berbagai pro-kotra kritis khususnya.
Pembicara kedua, Dekan Fisip UBK, Frangky Paulus Roring, S. IP., M. Si., dengan makalah yang berjudul “ Dinamika Ekonomi Politik Indonesia-China Dalam Tatanan Global Yang Berubah”. Dalam pemaparannya dijelaskan bahwa: “Sejarah huungan diplomatic Indonesia-China. Hubungan Indonesia-China pada dasarnya telah berlangsung sejak lama dan mengalami pasang surut hubungan. Hubungan diplomatic Indonesia-China dibuka secara resmi tahun 1950 bahkan negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diploamtis secara resmi dan pembekuan dilakukan tahun 1967 sebagai akibat Peristiwa G 30 S PKI, 30 September 1965. Normalisasi hubungan dilakukan melalui pembukaan hubungan hubungan diplomatic pada tahun 1990. Pasca reformasi semakin meningkat, baik hubungan bidang politik maupun ekonomi. Terutama setelah Deklarasi Kemitraan Strategis ditandatangani kedua negara tersebut. Pada tanggal 14 Mei 2017 Pemerintah China dan Pemerintah Indonesia telah menandatangani Comprehensive Strategisc Partnershiip Agreement (CSPA) di Beijing”.
Lebih lanjut dalam paparannya, Dekan Fisip menjelaskan: “Di era Presiden Joko Widodo kedekatan hubungan Indonesia terhadap China mengalami peningkatan. Hal ini terutama ditandai dengan peningkatan kerjasama ekonomi kedua negara, baik pada sektor investasi masupun perdagangan. Tantangan China sebagai kekuatan baru dunia adalah menguatnya pengaruh dalam konstelasi global dan regional tentu saja berdampak secara langsung bagi Indonesia. Selain itu, menguatnya peran China harus dipandang sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk untuk kepentingan pembangunan nasional Indonesia. Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa Asia Pasifik merupakan kawasan penting dan strategis bagi kepentingan nasional Indonesia, baik secara politik, pertahanan, kemanan, maupun ekonomi. Perkembangan politik apapun yang terjadi di kawasan ini akan membawa dampak langsung dan tidak langsung terhadap kepentingan Indonesia. Telah terjadi pergeseran kekuatan dan pertumbuhan ekonoi-ekonomi dari Barat (Atlantik) ke Asia Timur dan China menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat”.
Dekan Fisip UBK berikutnya menjelaskan: “Potensi Power China yaitu Hard Power (Kekuatan) menurut Joseph S. Nye Junior dibagi kedalam beberapa bentuk, pertama Hard Power adalah bentuuk langsung dari pendayagunaan kekuatan, baik dengan pola pendekatan coercive (memaksa) maupun reward (pemberian hadiah), pada prinsipnya hard power memiliki karakter yang transaksional dan perpaduan kemampuan organisatoris (manajemen kekuatan dan informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi kemenangan). Bentuk power kedua adalah soft power, berbeda dengan pendekatan hard power yang transaksional, pendekatan soft power lebih berkarakter inspirasional yaitu kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional seprti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh (Joseph S. Nye, Jr, 2008). China memiliki Hard Power dan Soft Power, dia tampil sebagai potensi Hegemoni baru. Sebagai kekuatan Baru Dunia. China sebenaranya membutuhkan Indonesia untuk merealisasikan tujuannya menjadi salah satu kekuatan dunia dengan jalan damai. Disisi lain posisi Indonesia di ASEAN membuat posisi Indonesia semakin dibutuhkan agar membantu hubungan China dengan negara-negara dikawasan Asia Tenggara. China memandang negara-negara ASEAN termasuk Indonesia sebagai bagian dari strateginya menjadi kekuatan dunia”.
Sedangkan dalam masalah-masalah dalam hubungan Indonesia-China, Bung Frangky Roring, menyampaikan: “Sejumlah isu terkait, persoalan ekonomi dan politik-keamanan, seperti isu SARA terkait etnis China di Indonesia, perdagangan, tenaga kerja, dan jasa, serta perbatasan maritime, bila tidak dapata ditangani dengan baik akan dapat berpotensi menjadi ancaman bagi kohesivitas hubbungan bilateral Indonesia-China. Hal ini menjadi tantangan hubungan dua negara tersebut. Dan realitas kedepan tantangannya semakin kompleks. Terkait konfigurasi kekuatan-kekuatan politik internasional”.
Wakil Duta Besar Republik Indonesia untuk Republiik Rakyat Tiongkok merangkap Mongolia, Dino R. Kusnadi yang juga hadir mendampingi Duta Besar menyampaikan: “Bahwa yang menjadi alas hubungan bilateral yang stabil adalah hubungan people to people contact dibidang sosial budaya. Hubungan antara non pemerintah, universitas, akademisi, dan pertukaran antar mahasiswa itu sebenarnya menjadi balas yang bisa menjembatani generasi kita dan generasi Tiongkok saat ini. Untuk generasi kita, kita harus terus bisa memberikan sumbangsih dibangun balas people to people sehingga kalau terjadi masalah dan gangguan ekonomi maka masyarakat kita akan saling menguatkan karena sudah saling memahami latar belakang budaya dan filosofi hidupnya”.
“Disinilah letak peran dari mahasiswa dan akademisi untuk memperdalam pemahaman kita tentang Tiongkok. Begitu juga dari Tiongkok, kita berusaha memperkenalkan Indonesia yang saat ini adalah maju, modern, demokratis dan berasaskan Pancasila. Mudah-mudahan dengan balas people to people contact ini maka hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok dapat dimanage dengan baik dan kita bisa sama-sama merasakan kesejahteraan pada masa-masa yang akan datang,” Penjelasan dari Wakil Dubes Dino. Harsen Roy Tampomuri selaku akademisi Fisip UBK yang memoderatori jalannya webinar menyampaikan bahwa pandangan visioner Soekarno pada pertengahan tahun 1950 hingga 1965 terkait Tiongkok sebagai mercusuar dan pusat modernisasi di luar blok Barat dan blok Timur yang sejalan dengan gagasan New Emerging Forces (NEFO) memiliki relevansinya kini. Ketika melihat polaritas dalam sistem internasional secara khusus sistem kontemporer, terlihat perubahan dalam tatanan global dengan munculnya kekuatan baru termasuk dari Asia yakni Tiongkok.
Menurut Harsen, Indonesia wajib melihat peluang kerja sama dalam ragam konstelasi global, termasuk dengan Tiongkok. Tiongkok yang kini kuasai 18 persen ekonomi dunia tentu tidak bisa diabaikan keberadaannya. Kerja sama dua arah diberbagai bidang perlu diperkuat dengan terus menjaga politik luar negeri bebas aktif baik dengan Tiongkok maupun negara manapun.
“Selain itu kerja sama diruang-ruang akademik intelektual tentunya diperlukan pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri dalam rangka memboboti pertimbangan untuk pembuatan kebijakan luar negeri. Disinilah collaborative governance berbasis pendekatan penta helix dibutuhkan yakni dengan melibatkan lima jenis pemangku kepentingan, baik academic, business, community, government maupun media, semoga kerja sama UBK dengan KBRI Beijing dapat terus berlanjut,’ Demikian closing statement dari Bung Harsen menutup rangkaian diskusi dalam webinar.